Perbedaan PKWT dan PKWTT di Indonesia
Dalam dunia ketenagakerjaan terdapat beberapa jenis perjanjian untuk mengikat hubungan kerja antara Perusahaan dengan Karyawan. Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (selanjutnya disebut “PP 35/2021”) mendefinisikan Perjanjian Kerja sebagai perjanjian antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
Terdapat 2 (dua) bentuk Perjanjian Kerja, diantaranya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”). Selain dalam PP 35/2021, aturan mengenai perjanjian kerja juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut “UU Ketenagakerjaan”) serta Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut “UU Cipta Kerja”).
Definisi PKWT dan PKWTT
PP 35/2021 mendefinisikan PKWT dan PKWTT sebagai:
- PKWT : adalah Perjanjian Kerja antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha untuk mengadakan Hubungan Kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu (Pasal 1 angka 10 PP 35/2021);
- PKWTT : adalah Perjanjian Kerja antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha untuk mengadakan Hubungan Kerja yang bersifat tetap (Pasal 1 angka 11 PP 35/2021).
Berdasarkan kedua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa perbedaan terbesar antara PKWT dan PKWTT terdapat pada jangka waktu hubungan kerja, dimana PKWT berlaku untuk jangka waktu tertentu, atau yang lazim dikenal oleh masyarakat sebagai pegawai kontrak, sedangkan PKWTT tidak membatasi jangka waktu hubungan kerja, atau yang lazim dikenal sebagai pegawai tetap. Selain mengenai jangka waktu, terdapat beberapa aspek perbedaan lainnya yang mendasari penggunaan PKWT dan PKWTT oleh Perusahaan, yang kami uraikan dalam beberapa poin di bawah ini:
1. Jangka Waktu Pelaksanaan Perjanjian
Sesuai dengan nama perjanjiannya, pelaksanaan PKWT memiliki jangka waktu tertentu. Sedangkan pelaksanaan PKWTT tidak memiliki jangka waktu tertentu. Pada ketentuan Pasal 6 jo. Pasal 8 PP 35/2021 diatur bahwa jangka waktu pelaksanaan PKWT maksimal adalah untuk 5 (lima) tahun, dan dapat diperpanjang sekali dengan ketentuan jangka waktu keseluruhan PKWT beserta perpanjangannya tidak lebih dari 5 (lima) tahun.Berbeda dengan PKWT, pelaksanaan PKWTT tidak memiliki jangka waktu tertentu.
2. Jenis Pekerjaan
Sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (1) UU Cipta Kerja, PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifatnya atau kegiatan pekerjaan tersebut akan selesai dalam jangka waktu tertentu, antara lain:
- pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
- pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;
- pekerjaan yang bersifat musiman;
- pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau
- pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.
Dalam hal terdapat PKWT yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (1) UU Cipta Kerja tersebut demi hukum akan berubah menjadi PKWTT, dimana hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 59 ayat (3) UU Cipta Kerja.
Dengan kata lain, PKWTT dapat diperuntukan sebagai dasar hukum dalam mengikat hubungan kerja antara Perusahaan dan Pekerja yang memiliki pekerjaan diluar ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU Cipta Kerja.
3. Pelaksanaan Perjanjian
Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 PP 35/2021, PKWT dilaksanakan berdasarkan adanya (i) jangka waktu, atau (ii) selesainya suatu pekerjaan tertentu. Perlu diperhatikan bahwa dalam PKWT tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan (probation) pada Pekerja, sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 PP 35/2021 dan hanya dapat digunakan untuk pekerjaan yang sifatnya sementara.Berbeda halnya dengan PKWTT, penggunaan PKWTT diperuntukkan untuk pekerjaan yang sudah bersifat tetap. Pada ketentuan Pasal 60 ayat (1) UU 13/2003 menentukan bahwa PKWTT dapat mensyaratkan adanya masa percobaan (probation) bagi Pekerja yang akan dipekerjakan oleh Perusahaan. Namun jangka waktu masa percobaan (probation) dibatasi paling lama adalah selama 3 (tiga) bulan.Selama masa percobaan (probation) tersebut, Perusahaan diwajibkan untuk tetap memberikan Upah sebesar upah minimum yang berlaku di tiap-tiap kota domisili Perusahaan tersebut.
4. Bentuk Perjanjian
Pasal 2 PP 35/2021 mengatur bahwa Perjanjian Kerja dapat dibuat secara tertulis maupun lisan. Namun dalam Pasal 81 angka 13 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 57 UU Ketenagakerjaan secara spesifik disebutkan bahwa PKWT dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.Sedangkan apabila dibandingkan dengan ketentuan PKWTT, tidak ada ketentuan dalam UU yang mewajibkan PKWTT untuk berbentuk tertulis. Namun, Pasal 63 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa apabila PKWTT dibuat secara tidak tertulis, maka pemberi kerja wajib menggunakan Surat Pengangkatan Kerja.
5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Dalam PKWT, pelaksanaan PHK dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang telah disepakati dalam PKWT. Dalam PP 35/2021 telah ditentukan beberapa alasan yang dapat digunakan untuk mengakhiri hubungan kerja. Hal ini diatur dalam Pasal 36 PP 35/2021, bahwa alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja, termasuk namun tidak terbatas pada Perusahaan tutup; Perusahaan melakukan efisiensi; Perusahaan melakukan peleburan, penggabungan, pengambilalihan, atau pemisahan; Perusahaan pailit; Pekerja mengundurkan diri; Pekerja mangkir; dan lain-lain.Berbeda dengan PKWTT, PHK dilakukan berdasarkan adanya putusan Pengadilan Hubungan Industrial. Pengadilan Hubungan Industrial akan mengeluarkan penetapan kepada perusahaan untuk dapat melakukan atau tidak melakukan PHK terhadap Pekerjanya, sebagaimana diatur dalam Pasal 151 UU Ketenagakerjaan.
Perbedaan antara pekerja tetap dan pekerja kontrak memiliki implikasi signifikan terhadap status dan hak-hak seorang pekerja dalam suatu perusahaan. Selain perbedaan dalam hal tunjangan, terdapat pula perbedaan yang mendasar dalam hal stabilitas kerja, peluang karier, serta perlindungan hukum. Perbedaan-perbedaan ini perlu dipahami dengan jelas oleh kedua belah pihak sejak awal hubungan kerja untuk menghindari kesalahpahaman dan potensi konflik di kemudian hari.
Pencatatan PKWT
Selain itu, perlu diperhatikan bahwa dalam Pasal 14 PP 35/2021 mengatur bahwa Perusahaan wajib mencatatkan PKWT yang telah ditandatangani secara daring (online) kepada Dinas Ketenagakerjaan (“Disnaker”) paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak penandatanganan PKWT dilaksanakan. Manakala belum terdapat layanan pencatatan PKWT secara daring, maka Perusahaan wajib mencatatkan PKWT tersebut secara tertulis (secara langsung) kepada Disnaker paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak penandatanganan PKWT. Pelaku usaha juga perlu memperhatikan ketentuan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 6/PUU-XVI/2018 dimana hakim memberikan penafsiran terhadap ketentuan pencatatan PKWT, yang pada pokoknya menentukan bahwa:
“Dengan adanya Pasal 59 ayat (7) dan ayat (8) UU 13/2003, menurut Mahkamah telah jelas mengenai kewajiban pencatatan PKWT dan akibat hukum dari tidak tercatatnya PKWT tersebut, yaitu bahwa undang-undang memberikan kewenangan kepada Pemerintah, in casu Menteri yang terkait, untuk mengatur lebih jauh mengenai aturan pelaksanaan terhadap norma a quo , selain itu norma yang ada, yaitu Pasal 59 UU 13/2003 termasuk Penjelasannya, telah menjadi dasar yang cukup bahwa PKWT wajib dicatatkan dan tidak dicatatkannya PKWT sampai dengan batas waktu yang ditentukan demi hukum berubah menjadi PKWTT.”
Hal ini berbeda dengan Perusahaan yang menggunakan hubungan kerja dengan bentuk PKWTT, dimana pada peraturan perundang-undangan terkait ketenagakerjaan tidak mewajibkan PKWTT untuk dicatatkan kepada Disnaker, baik PKWTT itu sendiri maupun Surat Pengangkatan Pekerja tersebut.
Sanksi
Peraturan ketenagakerjaan tidak mengatur sanksi secara tegas dalam hal terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh Perusahaan apabila tidak mencatatkan PKWT kepada Disnaker, baik sanksi secara pidana maupun sanksi administratif. Namun dalam hal Perusahaan tidak mencatatkan PKWT hingga batas waktu yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan kepada Disnaker di Kota / Provinsi domisili Perusahaan tersebut, maka PKWT tersebut batal demi hukum dan berubah menjadi PKWTT.
Tentunya, dengan PKWT yang batal demi hukum dan berubah menjadi PKWTT maka tanggung jawab Perusahaan secara hukum juga akan berubah. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan yang terletak pada hak-hak Pekerja yang diangkat berdasarkan PKWT atau PKWTT.
Catatan:
Publikasi ini dimaksudkan semata-mata untuk tujuan informasi saja dan bukan merupakan nasihat hukum dalam bentuk apa pun. Penting untuk diperhatikan bahwa informasi yang diberikan dalam publikasi ini bersifat umum dan mungkin tidak dapat diterapkan pada situasi hukum tertentu. Oleh karena itu, sangat disarankan agar pengguna mencari nasihat dari profesional hukum yang berkualifikasi sebelum mengambil keputusan apapun berdasarkan materi yang terkandung dalam publikasi ini. Ketergantungan pada informasi ini merupakan risiko dan kebijaksanaan pengguna sendiri.
Comments are closed.