Apa itu SNI?

Logo SNI sering terlihat pada berbagai produk, seperti helm, air mineral, dan tabung gas LPG. Namun, banyak pemilik bisnis yang belum sepenuhnya memahami apa itu SNI dan produk apa saja yang diwajibkan untuk mematuhi SNI menurut peraturan yang berlaku. Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan berlaku di seluruh Indonesia. Penerapan SNI bisa bersifat sukarela atau wajib, tergantung pada jenis barang atau jasa (Pasal 20 ayat (1) dan (2) UU SNI).

Pengujian SNI

Penggunaan label SNI pada suatu produk tidak dapat dicantumkan oleh Business Owners secara langsung. Terdapat beberapa persyaratan dan/atau langkah-langkah yang harus dipatuhi oleh Business Owner sebelum dapat mencantumkan label SNI dalam suatu barang, jasa, sistem, proses, atau personal yang dimiliki oleh Business Owner. Persyaratan SNI tersebut dilaksanakan melalui kegiatan penilaian kesesuaian yang terdiri dari proses pengujian, inspeksi, dan/atau sertifikasi, dimana hasil pengujian ini akan dinyatakan dalam bentuk laporan atau sertifikat pengujian (Pasal 30 UU SNI). Penilaian kesesuaian ini hanya dilakukan oleh Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) yang telah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). 

Setiap jenis barang, jasa, sistem, proses, atau personal yang diwajibkan memiliki SNI memiliki kriteria dan mekanisme penilaian kesesuaian yang berbeda-beda. Contohnya pada produk air mineral, dasar pemberlakuan SNI wajib beserta prosedur penilaian diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 78/M-IND/PER/11/2016 Tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Air Mineral, Air Demineral, Air Mineral Alami, dan Air Minum Embun Secara Wajib, yang diubah dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2019. Pada peraturan tersebut diatur mengenai jangka waktu berlakunya SNI, proses dan persyaratan yang wajib dipenuhi para pelaku usaha, hingga mekanisme pengawasan terhadap pemberlakuan SNI wajib, khusus untuk produk air mineral.

Apabila barang, jasa, sistem, proses, atau personal telah dinyatakan memenuhi serangkaian penilaian kesesuaian, maka akan diterbitkan sertifikat SNI. Sertifikat tersebut kemudian menjadi dasar persetujuan penggunaan tanda SNI dan/atau tanda kesesuaian pada barang, jasa, sistem, proses, atau personal.

SNI Wajib dan Sukarela

Namun Business Owners perlu memahami bahwa tidak seluruh barang, jasa, sistem, proses, atau personal tersebut wajib memiliki sertifikat SNI. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, penerapan SNI dapat dilaksanakan secara sukarela atau wajib. Perbedaan SNI Wajib dan SNI Sukarela pada pokoknya terletak pada jenis barang, jasa, sistem, proses, atau personal itu sendiri. Lebih lanjut dapat dilihat pada penjelasan berikut:

1. SNI Wajib

Sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UU SNI, pemberlakuan SNI Wajib diterapkan terhadap barang, jasa, sistem, proses, atau personal yang memiliki keterkaitan dengan aspek keselamatan, keamanan, kesehatan, atau pelestarian fungsi lingkungan hidup. Pemberlakuan SNI Wajib merupakan wewenang dari kementerian/lembaga pemerintah Non-Kementerian berdasarkan Peraturan Menteri atau Peraturan Kepala Lembaga Pemerintah Non-Kementerian. Beberapa contoh barang yang wajib bersertifikasi SNI, antara lain:

  • Helm (SNI 1811:2007)

  • Garam (SNI 01-3556:2000)
  • Mesin Cuci (SNI IEC 60335-2-7:2009)

  • Biskuit (SNI 2973:2011)
  • Kopi Instan (SNI 2983:2014)

2. SNI Sukarela

Sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (2) UU SNI, penerapan SNI juga dapat dilakukan secara sukarela oleh para pelaku usaha. Apabila Business Owners yang telah mampu menerapkan SNI dapat mengajukan sertifikat kepada LPK yang telah terakreditasi oleh KAN. Apabila telah mendapatkan sertifikat, maka pelaku usaha berkewajiban membubuhkan tanda SNI dan/atau tanda kesesuaian pada barang dan/atau kemasan atau label.

Sanksi

Penerapan SNI tidak hanya terhadap barang, jasa, sistem, proses, atau personal yang diproduksi di Indonesia saja, namun berdasarkan Pasal 25 ayat (4) UU SNI, Business Owner yang melakukan impor barang dilarang memperdagangkan atau mengedarkan barang yang tidak sesuai dengan SNI atau penomoran SNI. Oleh karena itu, bagi para Business Owners yang melakukan impor barang, harap diperhatikan apakah barang yang diimpor telah memenuhi seluruh legalitas yang diperlukan, terutama terkait pemberlakuan SNI ini.

Terhadap barang impor yang tidak sesuai dengan SNI yang diberlakukan di Indonesia, Pasal 67 UU SNI menetapkan sanksi berupa sanksi pidana pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp35.000.000.000,00 (tiga puluh lima miliar rupiah). 

Apabila Sertifikat SNI telah mendapatkan persetujuan penggunaan tanda SNI dan/atau tanda kesesuaian, maka sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (1) UU SNI, pembubuhan Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian untuk Jasa, Sistem, Proses, dan/atau Personal dapat dilakukan pada papan pengenal, kop surat, dan/atau media lainnya.

Namun apabila tidak memiliki sertifikat SNI, baik dikarenakan habis masa berlakunya, dibekukan sementara, atau sertifikat SNI dicabut, maka pelaku usaha dilarang :

  • Memperdagangkan atau mengedarkan barang;
  • Memberikan jasa; dan/atau
  • Menjalankan proses atau system.

Terhadap Business Owner yang melanggar ketentuan tersebut, dalam Pasal 65 UU SNI telah ditetapkan sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp35.000.000.000,00 (tiga puluh lima miliar rupiah).

Oleh karena itu, Anda perlu memperhatikan secara seksama apakah produk yang Anda produksi atau perdagangkan termasuk produk yang wajib SNI atau tidak, termasuk untuk produk-produk impor yang diwajibkan memiliki SNI. Masa berlaku SNI juga berbeda-beda bergantung pada aturan yang ditentukan pemerintah berwenang. Akan lebih baik sebelum mengurus SNI, Business Owners berkonsultasi terlebih dahulu untuk mencari tahu bagaimana langkah yang tepat untuk melakukan pengurusan SNI produk Anda demi kelancaran pelaksanaan bisnis Anda.

Catatan:

Publikasi ini dimaksudkan semata-mata untuk tujuan informasi saja dan bukan merupakan nasihat hukum dalam bentuk apa pun. Penting untuk diperhatikan bahwa informasi yang diberikan dalam publikasi ini bersifat umum dan mungkin tidak dapat diterapkan pada situasi hukum tertentu. Oleh karena itu, sangat disarankan agar pengguna mencari nasihat dari profesional hukum yang berkualifikasi sebelum mengambil keputusan apapun berdasarkan materi yang terkandung dalam publikasi ini. Ketergantungan pada informasi ini merupakan risiko dan kebijaksanaan pengguna sendiri.